Selasa, 21 Juli 2009

Mulai Menjadi Wartawan



Setelah tidak sempat lagi meneruskan kuliah pada Perguruan Tinggi Publisistik (PTP) kini menjadi IISIP (Institut Ilmu Sosial Politik), saya mulai menapaki pekerjaan sebagai wartawan sejak tahun 1968. Karena memang pekerjaan ini yang dicita citakan sejak di bangku SMA, maka dapat kesempatan menjadi wartawan saja cukup menggembirakan, sampai sampai saya tidak sempat lagi memikirkan berapa penghasilan seorang wartawan dan apakah bisa memibiayai hidup keluarga.

Pengalaman pertama yang cukup menarik ketika memasuki masa prabakti (pelonco) di PTP sebagai ‘kacung kampret’. Ini saya peroleh ketika menjalan masa prabakti mahasiswa yang pepuler dulunya disebut ‘pelonco’..

Salah satu hal yang tak bisa dilupakan ketika ditugaskan oleh senior, saya disuruh sebagai ‘penjual koran’ masuk kantor ke luar kantor. Setelah itu, hasil penjualan diserahkan pada panitia Mapram. Ketika ‘malam inugerasi’ saya masih dipelonco lagi cara menjual obat membuat senioran tertawa terpingkal pingkal. Kemudian kami mahasisawa baru diberi kesempatan ‘balas dendam’ dengan berbalik memelonco panitia para senioran. Salah seorang teman menanyakan, apa anda cinta pada negara dan bangsa, dijawab cinta, maka serta merta keluar perintah ‘cium tanah’. Dengan mesem mesem senior tadi membongkok dan mencium tanah yang diiringi sorak sorai rekan rekan yang akan mulai menduki bangku kuliah.

Pertanyaan apakah pekerjaan wartawan bisa membiayai hidup keluarga, terjawab setelah mulai bekrja sebagai wartawan Harin Abadi. Memang sulit dipastikan penghasilan wartawan dapat memenuhi biaya hidup. Tapi karena pekerjaan ini saya cintai, maka tidak pernah berkhayal banyak, kecuali jalan profesimu dengan baik kata hati saya. Ini saya kaitkan dengan ucapan senioran saya H. Rosihan Anwar, kalau ingin menjadi orang kaya jangan menjadi wartawan, tapi pilihlah kerja sebagai pengusaha.
Pengabdian saya di koran yang bernafas Islam ini hanya enam tahun, karena pada tahun 1974, Harian Abadi dilarang terbit alias dibredel bersama beberapa koran lain seperti, Harian Kami, Indonesia Raya, Harian Nusantara dan lain lain. Koran koran yang dibredel ini dipersalahkan terlibat peristiwa lima belas januari (Malari) pada tahun itu, tanpa diajukan ke pengadilan. Peristiwa Malari itu sendiri berupa tuntutan mahasiswa dan masyarakat akan masuknya modal asing terutama Jepang. Kami pasrah. Dalam hati saya, inikah kekuasaan?.

Karena profesi wartawan yang saya sandang baru berumur setampuk jagung, maka yang terpikir bagaimana bisa meneruskan profesi ini. Alhamdulillah, tidak berapa lama pemerintah memberikan izin terbit untuk adanya sebuah media yang bererek Islam.
Maka terbitlah Haian Pelita Dan Alhamdulillah pula saya diterima, walaupun pengangkatannya baru tiga tahun kemudian.
Pengalaman demi pengalaman mulai saya masukan dalam benak saya. Redaktur menugaskan mencari berita lapangan sekitar wilayah domisili di Pelabuhan Tanjung Priok dan Pemda Jakarta Utara. Saya sehari hari mulai meliput berita berita dalam masyarakat. Redaktur membatasi dulu berita yang bersifat wawancara, namun diharapkan berita dalam masyarakat berdasarkan fakta.

1 komentar:

Muhariman mengatakan...

Bagussss

Posting Komentar

Toggle