Kamis, 03 Desember 2009

Fitnah, Menunding Suami di Minang Dibeli


Berkembangnya anggapan anggapan buruk di Ramah Minang tidak terlepas dari adanya penyebar ‘racun’ untuk tujuan terselubung. Salah satu diantaranya yang paling memanaskan kuping tuduhan suami (laki) dibeli di Padang (Ranah Minang). Entah dari mana mereka mendapat keterangan, kita jadi heran. Kita kaum suku Djambak tidak menerima tundingan itu, bahkan bisa dituntut.
Perlu penulis jelaskan, bahwa perkawinan di Ranah Minang mengikuti hukum Islam si calon penganten laki laki memberikan mahar (emas kawin) sesuai dengan kemampuannya. Jika sang calon suami berkemampuan dia akan membayar semua biaya perhelatan (pesta) mulai dari biaya pengulu KUA (Kantor Urusan Agama) hingga pada biaya pesta perkawinan.
Adapun terdapatnya istilah ‘jemputan’ itu bukan berarti sang calon suami ‘dibeli’ oleh calon mertua (ibu-bapak) dari calon isterinya. Dijemput artinya calon mertuanya memberi penghargaan pada kedua orang tua calon menantunya atau calon suami dari mertuanya yang berhasil mendidik dan mengasuh anaknya. Pemberian entah berupa materi (emas dan uang) juga semampu calon metrua anaknya itu adalah wujud dari penghargaan diatas. Tidak pernah ada pentarifan dalam uang jemputan tersebut. Dan itu hanya berlaku di sekitar Kabupaten Padang-Pariaman dan sebagian Kotamadiya Padang.
Timbulnya penghargaan tersebut karena calon mertuanya merasakan bagaimana orang tua dari calon suami anaknya bersusah payah mendidik anaknya. Jika dia mencapai puncak pendidikan tinggi (sarjana), jelas kedua orang tua sang calon suami anaknya telah berkorban demi pendidikan anaknya. Dia (calon suami) anaknya punya kedudukan karena juga atas prestasi yang dicapai anaknya. Dalam kaitan ini, gensi orang tua anak laki laki kita akui masih tinggi. Adat ini di daerah seperti, Kabupaten Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh Kota tidak berlaku. Ada baiknya kalau yang mau tahu detail adat perkawinan ‘bajapuik’ tanyakan pada niniak mamak (penghulu) di Pariaman
Namun perlu kita ketahui, penghargaan dalam bentuk materi itu tidak sampai di situ saja, akan tetapi para ninik mamak dari si gadis yang akan jadi calon isterinya sang pemuda diatas akan memberikan ‘pengembalian’ yang nilainya kadangkala melebihi dari pemberian keluarga calon pengenaten wanita tersebut. Ini sebuah tawaran prestasi harga dan martabat keluarga si calon penganten perempuan.
Terjadinya hal diatas tidak terlepas dari sistim matrilial (garis keturunan ibu) di Ranah Minang. Sang suami akan menjadi kepala rumah tangga yang bertanggung-jawab atas keberhasilan sebuah rumah tangga. Setelah berhasil semua yang diperoleh telah diniatkan untuk isteri dan anak anaknya. Ini boleh kita sebut sebagai kompensasi dari penghargaan calon mertuanya tadinya. Jarang sekali semua yang didapat dari hasil perkawinan diangkut lagi oleh sang suami diboyong ke rumah orang tuanya.
Walau terbuka pengadilan agama untuk menyidangkan harta guna-gini, tapi pantangan bagi sang suami menuntut harta benda yang telah diperuntukan bagi isteri dan anak anaknya. Inilah bisa disebut bahwasanya laki laki di Ranah Minang tidak akan mengutik ngutik apa yang telah didapatnya bagi warisan isteri dan anak anaknya.
Meski tidak ada jeleknya, namun ‘kawin bajapuik’ yang bukan adat nan sabana adat itu dicoba dihilangkan oleh Mantan Bupati Padang Pariaman Kolonel Anas Malik. Ini barangkali yang disebut adat dan diadatkan berlaku lokal. Jika masyarakatnya menilai baik tentu kita orang luar tidak berhak untuk melarang bahkan menjelek jelekan adat orang Padang Pariaman ini. Ingat, lain lubuk, lain ikannya, lain padang lain belalangnya.
Untuk itu tak usah menilai negatif terhadap adat istiadat suatu daerah di Ranah Minang.

“Manapuak aie di dulang, tapacak muka sendiri” (Menjelek jelekan adat istiadat nagari sendiri sama juga menampar muka sendiri”).

“Gadiang tak ado nan tak ratak, tak ado bingkudu tak bagatah”
(Kalau menjadi orang yang memegang kekuasaan, jangan berbuat sekehendak hati).
by. Ah.Jambek

0 komentar:

Posting Komentar

Toggle